Rabu, 19 November 2008

DODOL NANAS MEKARSARI HASIL KEGIGIHAN BERSAMA

28 August 2003

Jakarta, KBI Gemari
Kegagalan kerjasama tidak harus berakhir dengan hancurnya persahabatan dan kebersamaan. Apabila semua pihak mempunyai etikat yang baik, kegagalan bisa dianalisis sebab musababnya dengan hati bersih, jujur dan semua pihak menjauhkan diri dari rasa curiga, dan menjauhkan diri dari kemarahan yang dilandasi saling menyalahkan, maka dengan kebersamaan yang tetap utuh dan akal sehat bisa saja dihasilkan pikiran dan prakarsa cemerlang sebagai jalan keluar yang lebih memberi harapan. Prakarsa itu dengan kerjasama yang baik dapat segera dilaksanakan dengan baik. Pelajaran yang ditunjukkan oleh penduduk warga Kampung Rancateja, Desa Tambakmekar, Subang, Jawa Barat, nampaknya patut direnung oleh para elite politik di tanah air bahwa persatuan dan kesatuan yang disertai dengan niat baik untuk mencari penyelesaian bersama bisa melahirkan ide-ide cemerlang yang kalau dilaksanakan dengan sungguh-sungguh bisa mengantar tercapainya masyarakat Indonesia yang sejahtera.

Kampung Rancateja, Desa Tambakmekar, bukanlah suatu kampung khusus yang ideal. Kampung ini biasa saja, seperti kampung lain di Subang, yang adalah suatu kampung yang terletak di desa Tambakmekar dipinggir jalan antara Subang dan Bandung. Daerah ini tidak jauh dari daerah wisata Ciater dan Gunung Tangkuban Perahu di Bandung. Sebagaimana kampung lain di sekitarnya, daerah ini mempunyai alam yang sejuk dan tanahnya subur. Masyarakat pada umumnya bertani. Salah satu produk unggulannya adalah nanas yang rupanya telah menjadi tanaman tradisional penduduk dari generasi ke generasi.

Drs. Oos M. Anwas, M.Si., dari Yayasan Damandiri yang ditugasi untuk meninjau kegiatan masyarakat di kampung ini melaporkan bahwa sejak tahun 1985, pada waktu BKKBN mulai melihat keberhasilan program KB yang luar biasa, para peserta KB diajak mengatur dirinya sendiri melalui kelompok-kelompok peserta KB yang dikembangkan di kampungnya. Salah satu kelompok itu adalah Kelompok Wanita “Sekar Arum”, yang sekaligus merupakan kelompok PKK di kampung itu. Sebagai kegiatan utama, sekaligus sebagai upaya latihan hidup mandiri, para anggota kelompok dianjurkan mengembangkan tanaman obat sebagai apotik hidup.

Sebagai usaha peningkatan pendapatan keluarga sejahtera, sebagian anggota kelompok Sekar Arum dianjurkan juga membuat warung hidup yang menjual sayur mayur dan kebutuhan hidup sehari-hari lainnya. Sebagian anggota lain dianjurkan mengembangkan budi daya kacang kedele yang ditanam di tanah desa (bengkok desa). Selanjutnya mereka dianjurkan juga menanam jagung atau tanaman lain yang dianggap menguntungkan. Secara ideal, menurut para pembinanya, hasil dari tanaman tersebut bisa untuk menambah tabungan untuk membiayai kegiatan kelompok pada umumnya.

Namun ternyata usaha ini tidak berhasil, bahkan justru mengalami kerugian. Mereka dianjurkan pindah pada usaha lain yaitu berternak ayam dengan dukungan pembinaan oleh para Penyuluh Lapangan Pertanian (PPL) dari desa yang sama. Lagi-lagi usaha ini mengalami kegagalan.

Kegagalan itu tidak menyurutkan semangat para ibu yang mulai belajar berorganisasi tersebut. Sebagai layaknya para politikus ulung, mereka mengadakan pertemuan, sarasehan, dan diskusi hangat di rumah ibu-ibu pengurusnya untuk mencari jalan keluar. Salah satu yang tidak mereka lakukan adalah saling menghujat dan saling menyalahkan. Mereka, dengan kepada dingin dan semangat mencari jalan keluar, saling mencari sebab dari berbagai kegagalan yang dialami bersama.

Mereka mulai melirik pengalaman warga kampung yang telah turun temurun menanam Nanas, dan mencari terobosan untuk menghasilkan produk ikutan yang dapat diandalkan. Mereka mengetahui bahwa produk Nanas hanya dijual secara eceran dalam bentuk biji tanpa diolah, bahkan banyak sekali penjualannya dilakukan dengan sistem borongan. Sistem borongan itu hanya menghasilkan harga yang rendah. Dengan segala akal sering terjadi pemborong datang ke kampung dengan pura-pura tidak membutuhkan produk yang biasanya melimpah pada saat panen tersebut.

Pengalaman kelompok membuat produk sesuai dengan “instruksi guru” mulai ditinggalkan dan diganti dengan pengalaman baru yang berorientasi pasar. Program pengembangan kelompok dengan produk yang berorientasi pasar ini mengharuskan kelompok yang tadinya sekedar asal ada kegiatan, pada tahun 1996 “direformasi” menjadi kelompok dengan orientasi pasar. Kegiatan BKKBN dengan dukungan dari Yayasan Damandiri mulai dikembangkan dengan latihan menabung Takesra dan kredit Kukesra yang diberikan secara bertahap. Pada saat yang bersamaan muncul seorang tokoh pemimpin yang baru. Pemimpin ini adalah Ibu Kartika Sari yang relatif lebih muda dibandingkan dengan pemimpin kelompok sebelumnya.

Ibu Kartika Sari sesungguhnya bukan pemimpin karbitan. Kartika Sari adalah penduduk asli daerah ini. Ia pernah sekolah di Akedemi Gizi di Jakarta, tetapi hanya 2 tahun dan tidak tamat. Pada saat belajar ini dia berkenalan dengan seorang pemuda bernama Lily yang asalnya dari kampung yang sama. Perkenalan itu dilanjutkan, sebagai layaknya anak muda, dengan pacaran untuk merancang masa depan selama tiga tahun. Akhirnya mereka menikah dan memutuskan untuk kembali ke kampung.

Di kampung, layaknya penduduk kampung lainnya, apalagi masih hidup bersama orang tua, mereka bertani menanam jahe, kencur dan nanas. Tetapi usaha ini biasa saja dan tidak mengalami banyak kemajuan, bahkan terkesan bangkrut. Untuk memberikan penghasilan yang lebih mantab terpaksa Lily bekerja di perusahaan penggergajian kayu di kampungnya. Sementara itu isterinya, Kartika Sari, bergabung dengan ibu-ibu lainnya dalam kelompok dan secara pribadi mulai menekuni pembuatan dodol Nanas.

Dalam kesempatan penggantian ketua kelompok di Kelompok Sekar Arum, Kartika Sari yang muda dipercaya oleh teman-temannya untuk memimpin kelompoknya. Sebagai pimpinan baru, dia mengajak dan melatih anggotanya untuk belajar ketrampilan dengan melirik produk yang melimpah di kampungnya, yaitu Nanas. Disamping belajar sendiri mereka meminta pertolongan PPL yang ada di kampungnya bagaimana mengolah Nanas yang melimpah dan bisa menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi.

Secara kebetulan PPL, dalam usaha pengentasan kemiskinan yang marak pada masa itu, menyediakan kegiatan pelatihan untuk penduduk kampung. Kelompok Sekar Arum secara spontan ikut dalam program pelatihan tersebut. Sebagaimana layaknya program pada masa itu, setiap peserta latihan mendapat jatah dana latihan sebesr Rp. 5000,- setiap hari. Jatah itu tidak diambil oleh peserta, karena mereka berlatih di kampungnya sendiri, tetapi dikumpulkan. Karena itu setelah pelatihan setiap peserta telah mempunyai uang sebesar Rp. 60.000,- yang dianggap cukup untuk modal membuka usaha Dodol Nanas yang mereka geluti selama pelatihan.

Pembuatan Dodol Nanas sebenarnya tidak sukar, tetapi memerlukan kesabaran dan ketelitian yang tinggi. Secara sederhana Nanas yang dipilih dengan baik sekitar 1,5 kg dikupas dan ditambah dengan gula pasir sebanyak 1 kg, 4 ons gula merah, 2,5 kg tepung ketan dan 2 gelas santan kanil. Campuran ini diaduk dalam wajan hingga rata. Setelah bercampur dengan sempurna adonan ini dimasak dalam api dan bara selama kurang lebih 1 jam. Setelah dianggap masak kemudian dituang dalam loyang serta diratakan untuk menghasilkan lapisan yang siap dipotong-potong menjadi Dodol. Baru setelah dianggap dingin adonan yang matang itu dipotong-potong sesuai ukuran yang dikehendaki dan dibungkus untuk siap di pak dalam kemasan yang menarik untuk dipasarkan. Sesuai anjuran banyak kalangan, mereka memberi nama Dodol produknya dengan merek “Dodol Mekar Sari”.

Pemasaran tingkat awal dilakukan antar keluarga sendiri di kampung. Keluarga yang merasa bahwa dodol itu enak rasanya, dianjurkan untuk ikut menawarkan kepada tetangga atau kenalan yang berkunjung sebagai oleh-oleh. Pemasaran secara sederhana tersebut tidak banyak membawa manfaat keuntungan berupa uang yang besar, tetapi telah menyadarkan penduduk akan kemungkinan baru bahwa Nanas produk kampungnya yang selama ini dijual mentah-mentah dapat diolah menjadi produk yang lebih menarik dan mendatangkan kemungkinan untung yang lebih besar.

Pada perkembangan berikutnya ada juga yang mengambil prakarsa untuk menititipkan dodol tersebut pada warung-warung yang ada di kampung lain atau dibawa dan dijajakan dengan alas sederhana atau bahkan koran bekas di tempat wisata Ciater yang tidak jauh dari kampung itu. Dengan cara itu dodol nanas Mekar Sari mulai dikenal luas di daerah lain.

Karena kegigihannya itu, pada tahun 1999, sebagai wujud dari program yang peduli terhadap upaya pengentasan kemiskinan, yang diprakarsai oleh Menko Kesra dan Taskin, dan bekerja sama dengan Yayasan Damandiri dan BKKBN, kelompok yang semula mendapat bantuan kredit Kukesra, dan dianggap lulus, dibantu untuk melanjutkan usahanya dengan skim baru yang disebut Kredit Pengembangan Kemitraan Usaha (KPKU). Melalui skim ini kelompok dan para anggota diajak mengembangkan kemitraan dengan usaha lain yang bisa menampung hasil produksi kelompoknya. Untuk itu mereka mendapat dukungan kredit melalui Bank BNI yang lebih besar, yaitu mula-mula pada tahun 1999 sebesar Rp. 10,5 juta. Dengan kredit itu para anggota kelompok harus bisa lebih leluasa memasarkan produknya ke daerah lain dan kalau perlu menitipkan produk itu ke toko atau warung-warung dalam jumlah yang lebih besar. Dana kredit dapat dipergunakan untuk menghasilkan produk yang lebih banyak sehingga jangkauan pemasaran lebih jauh.

Karena usaha kelompok itu dikelola dengan baik, bahkan apabila ada anggota terlambat membayar cicilan bisa dibantu lebih dulu oleh anggota lainnya, akhirnya para anggota makin disiplin dan tertib mengembalikan kredit. Kredit pertama lunas pada waktunya dan kegiatan kelompok bertambah maju. Karena keberhasilan itu maka kelompok dianggap layak untuk menerima bantuan kredit yang lebih besar. Dengan prosedur yang sudah baku kelompok itu kemudian mendapat kredit lebih besar pada tahun 2000, dan juga pada tahun 2001, dan selanjutnya pada tahun 2002.

Dengan adanya kredit yang selalu mereka bayar sesuai dengan perjanjian, bahan baku nanas yang relatif melimpah di desanya, serta kerja gotong royong yang akrab, mereka dapat saling tolong menolong untuk memenuhi permintaan langganannya. Untuk melayani langganan yang makin banyak mereka memutuskan bahwa setiap anggota dibantu untuk membuat tempat pembuatan dodol sendiri. Dengan tempat pembuatan yang makin menyebar diantara anggota, maka kemampuan produksi sebagai suatu kelompok bertambah besar. Salah satu sebabnya adalah karena setiap anggota diberi kesempatan untuk menambah tenaga pembantu sesuai dengan kemampuan produksinya. Namun semua produk harus tetap mengacu pada standar kualitas dan rasa yang sama serta diharuskan memakai nama merek yang sama, yaitu Dodol Mekar Sari.

Dengan memegang teguh kualitas yang sama dan merek dagang yang sama, maka pemasaran bisa dilakukan bersama dan dikurangi persaingan antar anggota kelompok, yang jumlahnya tidak pernah ditambah dari jumlah semula sebanyak 20 orang. Namun tidak berarti bahwa persaingan tidak ada. Dodol Mekar Sari bersaing dengan produk dari produsen lain yang mempergunakan merek dagang berbeda. Tetapi karena mereka tetap menjaga kualitas produk dengan baik, Dodol Mekar Sari tetap dianggap yang terbaik.

Sebagai produsen dodol unggulan yang maju, tidak jarang pimpinannya sebagai pemimpin kelompok atau sebagai perorangan, diundang ke daerah-daerah lain untuk memberikan kursus ketrampilan membuat dodol dan sekaligus memberikan petunjuk bagaimana memasarkan produk-produk itu secara luas. Untuk memelihara kekeluargaan dalam lingkungan kampungnya, kelompok ini secara bergiliran menyelenggarakan kegiatan pengajian secara teratur. Pengajian itu diikuti oleh tetangga yang sekaligus melakukan arisan dan kegiatan menambah pengetahuan, termasuk bagaimana membuat dodol yang enak dan disenangi masyarakat luas. Upaya ini untuk mempersiapkan tenaga yang sering dibutuhkan untuk membantu anggota yang kekurangan tenaga kerja kalau kebetulan pesanan melimpah.

Dengan adanya usaha itu, ibu-ibu di kampung makin mandiri serta tidak selalu tergantung pada suami yang bertani. Tetapi lebih dari itu kegiatan kelompok yang bekerja keras ternyata telah mampu menggalang persatuan dan kesatuan yang kokoh dan menjauhkan mereka dari rasa saling membenci. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)

Sumber : http://kbi.gemari.or.id

Tidak ada komentar: